Menurut dia, bahasa alay ditemukan pada naskah bertuliskan huruf Jawa kuno, yang berjudul “Angling Dharma”.
Dalam naskah itu, kata ratu ditulis dengan menggunakan kata “Ro” sebanyak tujuh kali sehingga terbaca sebagai ratu. Padahal jika merujuk pada tata bahasa jawa kuno, semestinya kata ratu ditulis dengan menggunakan “Ro”, “To” dan “Wulu”.
“Kalau hanya ditulis dengan Ro sebanyak tujuh kali, maka artinya menjadi tujuh atau pitu sehingga terbaca ’R’ dan ’Tu’,” jelasnya.
Untuk itu, menurutnya, bahasa alay senantiasa ada setiap zaman, namun hal itu tidak perlu dikhawatirkan dapat merusak tatanan bahasa Indonesia. “Sifatnya hanya sementara, tidak akan bertahan lama,” Kata dia.
Acara pemantauan dan sosialisasi penggunaan bahasa di ruang publik, diikuti oleh wartawan, penyiar radio, serta staf humas sejumlah instansi pemerintahan di Gorontalo.
Dalam kesempatan itu, Badan Bahasa juga mensosialisasikan undang-undang RI nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Sumber: http://www.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar